"For me, traveling is not only about a sightseeing and taking many pictures, but also how we know, understand, and respect others' culture."
Finally I could make a checklist (done) to one of my lifetime bucketlist, which was visiting Japan!
Yap, Jepang itu negara yang sangat ingin gw kunjungin sejak kecil (disamping Mekkah dan Madinah ya). Karena memang gue termasuk salah satu anime dan J-dorama freak :).
Since I was a child (a primary school grader), I was really crazy towards every little thing about Japan. Sampai-sampai gw tertarik untuk belajar Bahasa Jepang secara autodidak (karena untuk ikut les atau kursus terbilang cukup pricey bagi gw yang dari kalangan keluarga sederhana).
Jadi waktu itu, paman gue (atau adiknya ibu) ada pertukaran pegawai ke Jepang. Beliau karyawan PT ATI (anaknya PT Astra International). Gw yang masih kelas 3 SD saat itu request oleh-oleh Kimono, hahaha. Tapi pada akhirnya nggak dibawain sih karena harga Kimono ternyata mahal banget. Si Paman ngasih oleh-oleh ibu dompet kulit yang awetnya sampe bertahun-tahun.
Okay, balik lagi ke topik inti. Jadi tanggal 6 - 13 April 2019 kemarin, gw bersama suami dan anak pertama baru aja familypacker ke Jepang. Banyak yang nanya, ke Jepang pakai Tour and Travel atau Backpacker? Gimana tips-nya bisa traveling bawa anak balita? Gimana akses selama disana? Dan lain-lain dan lain-lain.
Untuk persiapannya, gue tulis pada postingan sendiri yaa.. silakan mampir kesini. Kali aja mau iseng-iseng baca hehehe.
Nah, that's why I'll try to write em all mumpung masih anget walau udah lewat setahun dan masih agak inget detail perjalananannya.
Kita berangkat dari Jakarta nyubuh hari sekitar jam 2 pagi karena pesawat ke Kuala Lumpur jam 6 pagi. Arsyad nggak sempet gw mandiin. Biarin lah, anak kecil kan nggak bau hehehe.
Pesawat take off dari Terminal 2D Bandara Soekarno Hatta sekitar jam 06.00 tanpa delay dan landing di KLIA2 lebih cepat 20 menit.
Kita emang nggak rencana keluar Bandara untuk explore Malaysia sih, karena waktu transit 5 jam kayaknya nggak akan cukup untuk minimal ke Menara Petronas. Tapi kita salah keputusan karena langsung masuk ke Transfer Area jadi kita nggak bisa keluar lagi, hiks. Penerbangan Air Asia kemarin udah connecting flight jadi kita nggak perlu ambil bagasi dan check in lagi.
Ngapain ya 5 jam di KLIA?
Mati gaya! Entah kenapa Bandara KLIA2 kok agak gerah ya. Karena Transfer Area itu kecil jadi kita superduper bosen sambil nunggu penerbangan ke Tokyo. Pilihan makanannya juga nggak terlalu banyak.
Kita naik ke Lantai 2. Disana ada beberapa restoran Fastfood (McD, Burger King, dan Popeyes) dan restoran lainnya. Arsyad tentu aja pilih McD, dia kan ngincer mainan. Tapi sialnya, McD sana nggak jual nasi (sama aja kayak di Changi). Jadi kita cuman pesen 1 paket Happy Meal dan 1 burger. Tapi suami maunya makan yang lain. Akhirnya dia ngajak muter-muter Transfer Area KLIA2 itu sampai ke lantai 3 siapa tahu ada KFC atau apa gitu. But to no avail, we couldn't find any. Finally we're back to the first place. Pilihan jatuh pada Noodle Soup Resto di Food Court Area (lantai 2 juga, sebelah McD).
Pesen cuma 1 paket, tapi dapetnya banyak :))
Maafkan muka kami yang kucel karena kurang tidur
Selesai makan, kita duduk-duduk nggak jelas di waiting room soalnya belum boleh masuk ke Boarding Gate. Mau sholat, belum adzan. Dzuhur disana itu agak lambat daripada di Jakarta yaitu jam 13.19 WITA. Ini agak deg-degan juga sih, soalnya jadwal take off pesawat kan jam 14.15 WITA. Usul awal suami sih solat di pesawat aja, tapi gue ngeliat yang lain pada nunggu adzan di musholla. Ya akhirnya kita jamak qasar Dzuhur sama Ashar-nya deh. Selesai sholat, langsung lah kita masuk ke Boarding Gate. Pesawat take off ontime sesuai jadwal.
Nihon e Youkoso!
Alhamdulillah setelah perjalanan lumayan panjang dan agak membosankan selama hampir 8 jam, pesawat Air Asia X landing di Haneda, Tokyo (lebih cepat 40 menit dari jadwal, well good job Air Asia!).
Persoalan selanjutnya setelah landing adalah lolos imigrasi Jepang yang konon nggak sedikit turis yang dideportasi. Alasannya bermacam-macam, ada yang karena itinerary nggak jelas, visa expired, dll. Gw langsung warning ke suami, sebelum keluar imigrasi sebisa mungkin jangan foto-foto dulu. Eh tapi sebelum ngantri di imigrasi, gue mampir toilet dulu dan... sasuga, kore wa nihon ga... toilet aja super bersih begini.
Kolset yang dilengkapi dengan bidet (buat cebok, tombol ada didinding sebelah). Klosetnya pun anget dudukannya dan bisa di set suara air palsu hehehe
Seperti yang diduga, antrian imigrasi udah panjang mengular. Hampir sekitar setengah jam-an lah akhirnya tiba giliran kita. Agak deg-degan sih tapi tetep harus pede. Yang penting kan gw pegang print out tiket pulang dan bookingan hotel. Alhamdulillah nggak ada kesulitan di proses imigrasinya. Paspor kita ditempel sticker (biayanya kan stempel ya) dengan tulisan: "Permitted to landing at Japan."
Bahasanya agak aneh ya, biasanya kan "Permitted to enter ...". Tapi yasudahlah, toh intinya kita diperbolehkan masuk Jepang.
Japan, we're comiiiiing!
Ambil bagasi selesai, ada pemeriksaan customs sih. Paspor, boarding pass, dan lembaran Customs Declaration kita dilihat. Karena kita nggak bawa aneh-aneh ya langsung lolos. Kita udah di Arrival Hall jam 23.00 waktu Jepang (sama kayak WIT, maju 2 jam dari Jakarta) sedangkan Bus ke Ginza jam 02.00. Nunggu 3 jam sambil ngapain dong?
Gw pun minta reschedule, kali aja bisa naik yang lebih cepat. Sayangnya untuk tujuan Ginza, paling cepet jam 01.15. It's okay laah lumayan pangkas waktu 45 menit kan yaa.
Jam 23.30, Arsyad minta makan karena dia nggak makan dipesawat. Gw coba cari dilantai atas-atasnya sekalian explore Haneda yang katanya ada tempat bagus untuk foto-foto. Suami nunggu dibawah sambil jagain koper. Naik ke Lantai 3, gw pun nemu Edo Market.
Haneda Airport Lantai 2
Edo Market Lantai 3
Edo Market Lantai 3
Hot zone, Ada Cool Zone juga diseberangnya.
Ini tempat favorit para traveler buat tempat nginep
Observation Deck Haneda, langsung kerasa udara Jepang yang sesungguhnya, brrr..
Nggak kerasa plesiran sebentar keatas, jam menunjukkan pukul 24.00. Gw dan Arsyad kembali ke Arrival Hall dibawah, ke tempat pak suami nunggu. Jam 00.50, kita menuju Bus Stop No. 3 untuk nunggu Airport Bus.
Di Bus Stop, suhu rasanya makin rendah. 12 derajat C. Itu rasanya brrr banget. Sarung tangan dan topi jadi amunisi. Tapi hebatnya, petugas di Bus Stop-nya cewek loh! Di Jepang apa nggak ada jam malem ya untuk cewek kerja?
Aiport Bus akhirnya datang dan berangkat sesuai jadwal. Maafkan nggak ada foto Limousine Bus-nya karena males buka-buka hape di suhu sedingin itu.
Stasiun Ginza jadi pemberhentian pertama. Kita dan beberapa penumpang lain bergegas turun. Bayangan gue Stasiun Ginza itu mirip stasiun besar yang ada di Indonesia. Tapi ternyata itu Stasiun Subway, jadi nggak kelihatan besarnya dipermukaan.
Perjuangan kita masih panjang. Dari Stasiun Ginza kita masih harus jalan sekitar 1,4 km menuju hotel. Bayangin aja, tengah malem di suhu 12 derajat, suami dorong 2 koper dan gw dorong stroller yang berisi Arsyad. Such a wow! Tapi untungnya Jepang negara yang aman, jadi kita nggak takut ada begal disana. Trotoar di Tokyo pun lebar-lebar dan digunakan sebagaimana fungsinya (nggak kayak di Indo ya yang trotoarnya dibuat jualan). Finally, setelah jalan sekitar 20 menitan, sampailah kita di Tsukiji Business Ban Hotel.
Don't wish for a lavish hotel at that price (harga sekitar 12ribu yen), instead Tsukiji is a traditional hotel. Tapi tetep dengan kondisi toilet yang modern dan superbersih.
Seperti biasa, yang kita cari pertama saat tiba dihotel adalah air mineral. Tapi saat itu kita nggak dikasih welcome drink layaknya hotel di Indonesia atau Phuket. Hampir nanya ke resepsionis, tapi disitu nggak ada tulisan nomor teleponnya. Yaudah deh pasrah. Untungnya ada vending machine di lantai yang sama dengan kamar hotel kita, maka beli lah kita air mineral seharga 100 yen per botol itu. Mahal ya, tapi siapa sangka 100 yen harga termurah untuk air mineral di Jepang lho!
(But later, I realized, maybe the tap water was drinkable so they didn't provide any mineral water. Hey, this is Japan! What a stupid me...)
Hari Pertama, 7 April 2020
Tokyo
Karena terlalu lelah, kita baru kebangun jam 08.30 pagi (sempet bangun untuk sholat subuh sih terus tidur lagi). Selesai mandi dan siap-siap, jam 09.30 kita langsung check out hotel lengkap dengan koper-kopernya karena akan pindah hotel. Anehnya hotel di Jepang, kita check out hotel sekedar ngasih kunci atau kartu aja dan kita udah dipersilahkan langsung pergi. Mereka nggak pernah ngecek ulang kamarnya kayak hotel hotel di Indonesia. Mungkin udah budaya orang Jepang hampir nggak ada orang yang iseng even cuma ngambil handuk hotel.
Hotel selanjutnya yang akan kita tempati sebenarnya jaraknya cuma 1 km-an dari Tsukiji Ban Hotel, tapi karena kita mau beli Tokyo Subway Pass di Stasiun Ginza, kita pun naik kereta dari stasiun terdekat, yaitu Stasiun Tsukiji. Diperjalanan menuju stasiun, akhirnya gue lihat sakura pertama gue di Jepang! Soalnya disekitaran hotel emang udah banyak yang rontok sih.
Sayangnya posisi kita ada diseberang jalan jadi cuma bisa lihat dari jauh
Sampai di Stasiun Tsukiji (hampir semua stasiun KA Lokal di Jepang itu subway), kita langsung beli tiket one-way-fare di Vending Machine. Sebenernya gue ada SUICA pinjeman dari temen kantor, tapi males top-up nya jadi nggak kepake.
Harga tiket dari Stasiun Tsukiji ke Stasiun Ginza per orang 140 yen. Murah ya? Iyalah kan deket cuma lewatin 2 stasiun, hehehe! Buat traveler yang bawa-bawa koper naik kereta, orang Jepang udah paham banget kok. Mereka akan kasih space buat kita walaupun kereta penuh.
Sampai Stasiun Ginza, gw langsung cari Tourist Information Center dan beli 48-hours-Tokyo Subway Pass seharga JPY 1,200/orang. FYI, anak dibawah 6 tahun tidak wajib beli tiket kereta, bahkan Shinkansen sekalipun dengan catatan anak harus dipangku. Tapi kalo di Tokyo Metro sih Arsyad duduk juga nggak masalah. Orang Jepang baik-baik, mereka sering kasih duduk ke anak kecil dan penumpang prioritas lainnya.
Big Tips: pakai Google maps atau Apple Maps untuk cari lokasi yang akan dituju. Ini berguna banget!
Dari Stasiun Ginza, kita kembali naik kereta Ginza Line menuju Stasiun Kyobashi lalu jalan menuju APA Hotel Ginza sekitar 250 meter. Hotelnya baru bisa check in jam 15.00, jadi kita cuma titip koper aja (tanpa biaya pastinya). So, titip koper udah, mari kita lanjut explore Tokyo!
Keluar hotel, ternyata masih banyak sakura mekar lho!
Saking excited-nya lihat sakura mekar yang berwarna pink pucat itu, sampai nggak sadar kalau belum sarapan. Hmm.. makan apa ya? Eh ada Yoshinoya diseberang jalan.
Menu Yoshinoya di Jepang sama sih kayak di Indonesia. Nasi di Yoshinoya Jepang pakai nasi agak lengket (yang buat bento) dan ada menu tambahan telur mentah. What?! Terus ini makannya harus gimana? Diminum gitu? Glek. Dasar orang Jepang, kalau nggak ada menu mentah nggak afdol rasanya. Gue pun request ke waiter-nya agar telur mentah itu dimasak. Tapi nggak sampai 3 menit, si waiter udah nganterin telur masak itu. Dan tau nggak definisi telur yang udah dimasak bagi orang Jepang? Telur mentah ditaruh di ladle dan diceburin beberapa detik di air mendidih sampai putih telurnya berserabut (poached egg, kurang dari setengah matang). But the egg yolk completely uncooked! Telur setengah matang gue masih suka, kalau telur mentah? No, no, no...
Ueno Park
Tokyo, Jepang
Ueno Park terkenal sebagai salah satu spot terbaik untuk hanami (lihat sakura). Disana sering diadakan festival-festival tradisional untuk merayakan mekarnya sakura. Hanami sambil makan dango, hmm.. kayak di dorama Jepang!
Pas kita kesana, ternyata memang benar, sakura yang mekar masih banyaaakkk banget! Huhu gue sampai terharu. Walau kita jalan bareng ribuan orang lainnya dibawah pohon sakura, tapi tak memudarkan pesona sakura yang kelopaknya pelan-pelan berjatuhan. We're walking under the falling sakura!
Sebenarnya pas kesana ada Sakura Festival, tapi kita skip karena orangnya terlalu banyak. Kasian si bocah kalau harus uyel-uyelan diantara ribuan orang.
Kaminarimon Gate, Asakusa
Tokyo, Jepang
Destinasi selanjutnya adalah Kaminarimon Gate di Asakusa, dari Stasiun Ueno naik Tokyo Metro turun di Stasiun Asakusa. Kaminarimon gate atau Gerbang Kaminarimon adalah pintu gerbang menuju Kuil Sensoji. Begitu sampai pintu gerbangnya, kita serasa ada diantara ribuan manusia dan mulailah penyakit malas berada dikeramaian gue kumat. Hampir aja gue putus asa dan ingin segera berbalik naik kereta menuju destinasi selanjutnya. Tapi terus mikir lagi, kapan lagi gue ada kesempatan kesana lagi kan? Jadilah kita paksakan masuk ke area super ramai itu.
Penampakan depan Kaminarimon Gate
Begitu melewati Gerbang Kaminarimon, ternyata dalamnya banyak deretan penjual makanan dan oleh-oleh. Ada es krim, takoyaki, taiyaki, dan merchandise khas Jepang lainnya. Arsyad langsung ngerengek minta es cone. Jadilah kita masuk ke salah satu stand penjual es cone, satunya seharga 300 yen. Lumayan mahal untuk ukuran es cone, hiks.
Lalu kita melewati para penjual makanan dan oleh-oleh itu bersama ribuan (maybe) orang lainnya. Tapi akhirnya nyerah, terlalu rame! Waktu akan kebuang disini sedangkan masih banyak yang belum dikunjungi di Tokyo.
Tokyo Skytree
Tokyo, Jepang
Perjalanan selanjutnya dari Kaminarimon Gate, Asakusa, kita ke Tokyo Sky Tree. Aksesnya naik Toei Subway Asakusa Line dan turun di Stasiun Oshiage. Ini beda dengan Tokyo Metro tapi masih terkoneksi jalurnya dan bisa dijangkau dengan Tokyo Subway Pass.
Tokyo Skytree sebenarnya adalah menara pemancar televisi dan radio dan observasi untuk area Kanto yang juga merupakan menara tertinggi di Jepang dengan ketinggian 634 m (kedua tertinggi didunia setelah Burj Khalifa, Dubai). Kita bisa naik ke observationnya dengan tiket seharga 3000 yen untuk dewasa dan 1500 yen untuk anak-anak. Glek, mahal banget, not in our budget too. Tapi emang nggak ada niatan naik juga sih, cuma pengen tau aja penampakan depannya.
Tokyo Skytree, ngambil foronya susah karena terlalu tinggi
Karena nggak berniat naik keatas, kita cuma duduk duduk didepan Tokyo Skytree. Entah kebetulan atau gimana, didepan Tokyo Skytree lagi ada semacam playground gitu. Langsung lah si Arsyad ngacir kesana dan minta naik perahu air.
Sebenernya permainannya banyak sih, tapi paling murah harganya 500 yen (nah perahu air ini 500 yen). Mahal yaak? Lumayan, hiks. Permainannya sekitar 10 menitan.
Tokyo Tower
Tokyo, Jepang
Tokyo Tower ini adalah ikon-nya Tokyo dan jadi hal yang wajib dikunjungi layaknya Menara Eiffel di Paris. Kalau gue sih karena menara ini sering banget muncul di Detective Conan (walau di manga-nya namanya jadi Tootoo Tower), jadi berkunjung kesana merupakan salah satu bucket list gue.
Awalnya rencana ke Tokyo Tower ada di Hari Kedua di Tokyo, sebelum pindah ke Kyoto. Tapi berhubung sekalian jalan dan kita masih punya banyak waktu, mampir lah sebentar didepan Tokyo Tower ini. Akses kesana dari Stasiun Oshiage naik Toei Subway Asakusa Line turun di Stasiun Higashi-Ginza. Lalu transfer ke Tokyo Metro Hibiya Line turun di Stasiun Kamiyacho dan jalan sekitar 750 meter ke Tokyo Tower.
Nothing much to do in Tokyo Tower, but it's a must to take picture in front of it, hahaha.
Nggak kerasa udah jam 15.30 waktu setempat dan kita belum sholat Dzuhur dan Ashar. Gue coba googling Masjid Tokyo Camii yang tersyohor karena buat nikah 2 artis papan atas Indonesia. Sekilas gue baca lokasinya di Shibuya, langsunglah kita balik ke Stasiun Kamiyacho untuk menuju Shibuya.
Penting!: Peta Rute Tokyo Subway harus selalu dibawa kemanapun kita pergi! Selalu perhatikan tiap pemberhentian stasiun, jangan sampai kelewatan karena kereta Subway ini tergolong lumayan cepat jalannya (nggak ada bersilang atau apapun, jadi cuma berhenti di stasiun-stasiun aja).
Shibuya
Tokyo, Japan
Dari Stasiun Kamiyacho naik Hibiya Line arah Kita-senju turun di Stasiun Kasumigaseki, ganti Marunouchi Line turun di Stasiun Akasaka-mitsuke. Lalu ganti lagi Ginza Line langsung turun di Stasiun Shibuya.
Di Shibuya, gw kembali cek GPS untuk nyari Tokyo Camii ada dimana. Ternyata jauh, sekitar 4 km-an dari situ. Lah nggak mungkin kan kita jalan sejauh itu. Akhirnya coba nyari tempat sholat lain, Alhamdulillah ada musholla. Jalan lumayan jauh sekitar 500-700 meteran dari Shibuya Crossing. Musholla itu harus melewati Shibuya Crossing, jadi lah sekalian kita mengabadikan moment di Shibuya Crossing yang fenomenal itu.
Kenapa Shibuya crossing begitu terkenal ya? Padahal kan 'cuma' zebra cross untuk orang-orang nyebrang. Uniknya Shibuya Crossing itu, ada saatnya lampu merah untuk pengendara mobil akan menyala bersamaan selama bebrapa menit sehingga ratusan bahkan ribuan orang menggunakan kesempatan itu untuk menyebrang jalan bersamaan di 5 zebra cross. Bahkan saking menariknya, sampai ada restoran kopi terkemuka menyediakan spot khusus untuk pelanggannya yang ingin menikmati pemandangan orang-orang menyebrang di Shibuya Crossing.
Kalau kalian sering lihat seleb Indonesia yang bisa koprol atau tidur-tiduran di Shibuya Crossing, itu nggak mungkin terjadi secara natural. Karena untuk sekedar foto-foto atau rekam video aja udah susah. Orang Jepang itu jalannya ngebut-ngebut, kita bisa ditabrakin kalau nggak ikut ngebut juga.
Kalau kalian sering lihat seleb Indonesia yang bisa koprol atau tidur-tiduran di Shibuya Crossing, itu nggak mungkin terjadi secara natural. Karena untuk sekedar foto-foto atau rekam video aja udah susah. Orang Jepang itu jalannya ngebut-ngebut, kita bisa ditabrakin kalau nggak ikut ngebut juga.
700 meter dari Shibuya Crossing, sampailah kita ke sebuah apartemen bernama Dougenzaka. Mungkin lebih cocok dibilang rumah susun sih ya ketimbang apartemen, karena tergolong sederhana walaupun soal bersih nggak perlu ditanya lagi sih. Info dari Mbah Google tempatnya ada di Lantai 11 di room 1107. Pas sampai sana, kok kaya kamar apartemen biasa. Bener nggak sih?
Setengah ragu, gue mengetuk pintunya dan dibuka oleh seorang pria berkulit gelap. Sepertinya dia migran dari Afrika (sepertinya, karena kadang gue nggak bisa membedakan suku bangsa orang hanya dilihat dari warna kulitnya). Dengan ramah, dia mempersilahkan kami masuk.
Penampakan dalamnya seperti ini. Lebih mirip kamar apartemen sederhana yang disulap jadi musholla (credit to: ini)
Daripada musholla, tempat ini lebih cocok disebut kamar apartemen sederhana yang disulap sebagai musholla. Sepertinya pria itu tinggal disini sama keluarganya, ada istri dan 1 anak perempuan. Istrinya pun ramah. Di dalam 'musholla' itu ada beberapa orang yang sedang sholat dan kelihatannya mereka juga turis muslim. Kita segera sholat, jamak qasar. Suami sempat diajak ngobrol sebentar oleh beberapa turis itu dan selesainya kita segera pamit dan menuju KFC yang beda nggak jauh dari Dougenzaka.
Menu KFC di Jepang nggak ada nasi, huhuhu. Padahal mereka juga termasuk pemakan nasi (walau nasinya kayak nasi sushi). Jadi kita cuma pesan makanan paket yang isinya ayam goreng, nugget, kentang pompom dan es lemon tea (gula dan bubuk asam sitrat-nya dipisah). Kita beli paket kids meal karena Arsyad selalu ngincer mainannya hahaha.
Makan bertiga habis 1,490 yen atau sekitar IDR 190ribu. Yay, makan KFC termahal seumur hidup dan itu masih nggak kenyang karena nggak ada nasi, hahaha.
Tips:
Kalau kalian pergi sekeluarga, belilah makanan dalam bentuk paket karena akan lebih murah daripada beli ala carte.
Suasana Shibuya malam itu tergolong hangat sehingga cocok buat jalan-jalan malam dengan suhu 19 derajat. Padahal kalau di Bandung suhu segitu udah tergolong dingin lho hahaha. By the way, itu suhu paling tinggi selama kita di Jepang. Hari-hari selanjutnya kita nggak pernah ngerasain suhu sehangat itu lagi selama di Jepang, hiks.
Stasiun Shibuya (Tokyo Metro) tempatnya di pinggiran Shibuya Crossing. Disitu juga ada Patung Hachiko yang terkenal itu dan jadi tempat wajib buat turis foto-foto. Kita? Nggak, karena terlalu rame. Mau foto harus giliran sekitar beberapa menit per orang. Ngabisin waktu banget kan?
APA Hotel Ginza, Kyobashi
Tokyo, Jepang
Sebelum masuk hotel, suami minta mampir lagi ke Yoshinoya, takeaway buat makan malam. Ciyee.. ketagihan Yoshinoya Jepang tuuh..
APA Hotel Ginza tergolong hotel modern. Hotelnya nggak luas, tapi efisien. Resepsionisnya aja sempit banget dan nggak ada bangku buat duduk (malah penuh sama koper-koper titipan termasuk koper kita, hehehe). Check in hotel pakai vending machine dan pembayaran dilakukan saat check in, ya sekalian di vending machine itu. Pembayaran selesai, vending machine akan otomatis mencetak kartu yang berfungsi sebagai kunci kamar hotel. Canggih kan!
Kebiasaan gue kalau sampai kamar hotel, langsung cari remote AC. Tapi kok lama-lama bukannya dingin malah panas ya? Jangan-jangan settingannya ke heater bukan cooler!
Remote AC nya tulisan kanji! Nggak ada yang gue ngerti satupun, huhuhu. Pengetahuan kanji gue belum banyak dan itu udah menguap entah kemana karena terakhir belajar kanji 8 tahun yang lalu. Dengan googling dan mengandalkan feeling, gue coba utak-atik si remote itu. Tetep aja yang keluar malah angin panas. Ini gimana sih caranyaaa? Akhirnya gue matiin aja. Udara luar lebih dingin daripada udara ruangan, jadi mending tanpa AC daripada keluarnya angin panas.
Tiba-tiba telepon hotel berdering. Si resepsionis bilang dengan Bahasa Inggris yang agak susah dimengerti kalau AC nya akan mereka restart dan nyalakan lagi. Tunggu sampai 30 menit, jangan pencet tombol apapun di remote. Wih canggih ya, ternyata dengan gue utak atik remote-nya itu langsung ketauan ke bagian teknisi hotel kalau ada something wrong with my room! Gue pun menyadari ke-bego-an gue, kenapa juga mesti sok tahu pencat-pencet remot. Dasar traveler norak! Hahaha. Dan bener aja, nggak lama AC ter-restart sendiri dan nyala dengan angin sejuk.
Ini penampakan toilet di APA Hotel. Semua fasilitas umum toiletnya super bersih!
Di hotel juga gue baru nyadar kalau air keran di kamar mandi bisa diminum setelah gue baca di keran-nya ada tulisan "Drinking water". Alahmakjaan.. berarti hotel yang d Tsukiji kemarin juga air kerannya bisa diminum dong? Kenapa gue lupa ini di Jepang bukan di Indonesia atau Thailand? Berarti gue udah buang 500 yen sia-sia buat beli air mineral botol, huhuhu.
Hari Kedua, 8 April 2020
Tokyo
Kemana kita di hari kedua? Rencananya kita mau ke Akihabara (city of anime, katanya), Meiji Jingu Shrine di Harajuku, dan perjalanan ke Kyoto. Karena akan pindah hotel, kita harus bawa-bawa koper lagi yang akan kita titip di Locker room Stasiun Tokyo. Lumayan sih ya bawa-bawa koper gitu, apalagi stasiun di Jepang kebanyakan Subway. Kadang ada juga stasiun yang nggak ada lift-nya, jadi kita harus turun naik tangga.
Di Jepang, naik turun tangga, eskalator, elevator, dan saat akan naik kereta ada aturan tak tertulisnya lho! Misal, saat kita akan naik atau turun tangga biasa ataupun eskalator, harus di satu sisi karena sisi yang satunya hanya dipakai untuk mendahului. Nggak ada tuh istilahnya kita turun tangga bareng-bareng sejajar sambil ngobrol. Orang Jepang terkenal ontime dan nggak suka buang waktu, jadi harus ada akses untuk mereka yang mau buru-buru. Kalau di Tokyo, kita wajib naik turun tangga/eskalator disebelah kiri, sedangkan sebelah kanan untuk medahului. Kalau di Kyoto sebaliknya, sebelah kiri untuk mendahului. Terus apa gue tahu hal ini sebelum berangkat ke Jepang? Nggak sama sekali. Di Jepang kita harus belajar budaya mereka. Jadi gue selalu perhatiin orang-orang Jepang saat melakukan sesuatu ditempat umum.
Sejauh ini peraturan tak tertulis untuk turis yang gue tahu selama di Jepang:
- Jangan buang sampah sembarangan. Jepang memang jarang banget menyediakan tempat sampah ditempat umum, tapi negaranya super bersih. Terus dikemanain sampahnya? Biasanya gue kantongin dulu, taruh tas dan baru dibuang saat nemu tempat sampah.
- Selalu bersihkan meja setiap habis makan fast food macam KFC, McD, BK, dll. Buang ke tempat sampah yang udah disediakan.
- Queuing is the key! Antri udah jadi budaya mereka yang melekat, baik saat nunggu mau naik elevator, kereta, ataupun saat ditempat umum. Nggak ada tuh istilahnya rebutan saat mau naik kereta, mereka selalu tertib antri.
- Berjalanlah pada salah satu sisi tangga atau eskalator karena sisi lain khusus untuk mendahului.
- Jangan foto-foto di kereta. Menurut orang Jepang ini nggak sopan dan mengganggu banget.
- Jangan ngomong keras-keras di kereta. Orang Jepang terkenal silent. Kebanyakan kalau di kereta mereka baca buku, tidur, atau liat ponsel. Kalaupun ada yang ngobrol itu pun pelan-pelan. Mereka sangat menghargai privasi orang lain.
- Jangan malu bertanya! Terdengar klasik, tapi bener lho, orang Jepang itu sangat helpful. Walau dengan keterbatasan bahasa, mereka berusaha membantu.
- Selalu lihat lampu saat akan menyebrang jalan. Jangan pernah nyebrang saat lampu pejalanan kaki berwarna merah. Kalau nggak ada traffic light? Nyebrang aja, jangan takut. Mereka sangat menghargai pejalan kaki kok. Se-ngebut apapun kendaraannya, mereka pasti akan berhenti dan mempersilahkan pejalan kaki nyebrang selama kita menyebrang ditempat yang benar (zebra cross misalnya).
Dari Stasiun Kyobashi, kita naik Ginza Line (kuning) turun di Stasiun Ginza lalu lanjut ke Stasiun Tokyo via Marunouchi Line (merah). Locker room Stasiun Tokyo sebenernya banyak tersebar, tapi yang kita temukan pertama yang didekat JR Information Center.
Tarif sewa locker untuk ukuran koper 20 kg adalah JPY 500. Sebenernya ada locker yang muat 2 koper sekaligus dengan harga JPY 700, tapi sayangnya semua penuh.
Displaynya tulisan kanji, gue langsung mewek. Ini gimana caranyaaa?
Untunglah ada sekelompok Granny yang juga mau titip koper disana. Saat tiba giliran gw, salah satu Granny nanya ke kita apa kita ngerti tulisan kanji yang ada di display. (FYI display touchscreen itu fungsinya untuk bayar sewa dan mengeluarkan receipt berisi passcode untuk dipakai saat pengambilan koper nanti).
"Wakarimasu ka?" katanya.
Gue menggeleng, "Wakarimasen deshita."
Mereka segera bantuin sampai koper berhasil dimasukkan. Bahkan salah satu granny ada yang bantuin angkat koper. Baik banget kan sampai kita terharu. Setelah mengucapkan terima kasih ke obaa-sama itu kita segera menuju ke Stasiun Akihabara naik Marunouchi Line turun di Stasiun Ginza dan transfer ke Akhihabara via Hibiya Line (Abu-abu).
Ada kejadian agak nyebelin saat di Tokyo Metro Hibiya Line dari Ginza ke Akihabara.
Tokyo Subway Pass punya suami hilang dan baru sadar pas di kereta. Entah karena habis dipegang Arsyad terus nggak dikasihin lagi ke ayahnya atau suami lupa taruh dimana. Dia galau sepanjang perjalanan, padahal gue udah bilang bolak-balik,
"Yaudah nggak apa-apa, nanti kita beli lagi."
Tapi tetep aja dia galau yang berakibat tas ranselnya yang berisi stroller dan botol susu Arsyad ketinggalan di kereta. Baru ngeh pas udah di Stasiun Akihabara. Tambah bingung kan!
Kita pun nanya ke Petugas Stasiun, mereka nyuruh kita ke Station Office. Setelah jelasin kronologisnya pakai Bahasa Inggris campur bahasa isyarat karena petugasnya blas nggak ngerti Bahasa Inggris, petugas di Station Office berusaha melacak. Nggak sampai 20 menit tas berhasil terlacak dan ada di Stasiun Minami-Senju (5 stasiun didepan Stasiun Akihabara)! Dia kasih tiket gratis dari Stasiun Akihabara ke Stasiun Minami-Senju buat suami (karena tahu Tokyo Subway Pass-nya suami hilang) untuk ambil tas itu. Wow, luar biasa kan. Mereka begitu sigap dan cekatann melacak barang yang tertinggal di kereta. Padahal kereta Subway disana frekuensinya 1-2 menit sekali, udah pasti susah ngelacaknya. But, they did very good job!
Stasiun Minami-Senju bukan stasiun Subway, jadi dinginnya terasa.
Brrr... saat itu 10 derajat Celcius!
Ransel suami akhirnya berhasil kita ambil di Stasiun Minami-Senju tanpa ada barang yang hilang satupun, ditambah lagi petugas Stasiun sangat ramah melayani kita.
Akihabara
Tokyo, Jepang
Welcome to Akihabara, the city of Anime & Manga lovers!
Sebagai anime dan manga lover, khususnya Detective Conan dan Naruto, Akihabara nggak boleh dilewatkan saat ke Jepang walaupun udah nggak se-freak dulu sih. ANIMATE adalah salah satu tempat yang jual merchandise segala macam anime dan manga disitu. Kita masuk kedalamnya dan keliling cari souvenir Conan. Tapi harganya mahal bangeett, paling murah 800 yen itupun jelek. Terus karena Arsyad udah kebelet pipis juga, gue pun nggak konsen liat-liat, jadi langsung keluar tanpa beli apa-apa.
Berhubung tiket Tokyo Subway Pass suami hilang, kita pun ke BIC Camera (sebelahan sama Animate) untuk beli lagi tapi yang 24-hours. Soalnya kita bakal masih pindah-pindah kereta hari itu jadi beli Pass rasanya sangat worthed ketimbang beli tiket one-way-fare.
Shibuya
Tokyo, Jepang
Kita kembali lagi ke Shibuya karena ada barang yang dicari suami tapi belum sempat dibeli hari sebelumnya. Setelah dapet, kita ke Harajuku dengan jalan kaki. Lumayan jauh sih tapi sangat worthed karena nggak sengaja nemu taman kecil isinya Sakura semua. Sakura yang mulai rontok jatuh berguguran layaknya salju berwarna pink. Sugoiiii desu ne~
Di Harajuku, kita nggak nemu orang-orang Jepang pakai cosplay yang aneh-aneh. Semuanya normal. Mungkin karena weekday kali ya. Kita pun menuju Meiji-Jingu Shrine yang nggak jauh dari Stasiun JR Harajuku.
Depan Stasiun JR Harajuku
Meiji Jingu Shrine adalah Kuil Shinto yang didedikasikan untuk memuja arwah Kaisar Meiji dan istrinya, Permaisuri Shoken. Area ini ditutupi oleh hutan evergreen yang terdiri dari 120.000 pohon dengan 365 spesies yang berbeda di mana pohon-pohon ini disumbang oleh masyarakat Jepang dari berbagai kalangan pada saat kuil ini mulai didirikan. Hutan ini sebagian besar dikunjungi sebagai tempat rekreasi dan relaksasi di pusat kota Tokyo. Kuil ini sendiri terdiri dari dua area utama, yaitu Naien (bagian dalam kuil) dan dan Gaien (bagian luar kuil).
Walau sempat nyoba jalan masuk ke area kuil, tapi kita segera berbalik arah karena masih sekilo lebih. Kita belum sholat dan harus segera ke Kyoto sore itu.
Foto di gerbang depan Meiji Jingu Shrine
Hari semakin sore, sholat dimana kita? Thanks to Google Maps, kita akhirnya nemu tempat sholat di H.I.S Tourist Information Center jaraknya sekitar 600 meter dari Meiji Jingu. Tempat sholatnya kecil dari bilik dan gantian dengan turis lain. Tapi Alhamdulillah masih ketemu tempat shalat. Walaupun nggak ada air buat wudhu, kita masih bisa tayamum. Selesai sholat, kita segera beranjak ke Stasiun Meiji-jingu naik Tokyo Metro via Fukutoshin Line (cokelat) turun di Stasiun Shinjuku 3-chome dan transfer ke Marunouchi Line ke Stasiun Tokyo.
Sampai di Stasiun Tokyo, kita ambil koper di Locker Room dan gue baru tahu kalau Display-nya bisa diganti ke Bahasa Inggris, hahaha. Cara ngambilnya simple, cukup masukan passcode yang ada di receipt.
Taraa.. loker pun terbuka!
Koper udah ditangan, sekarang tinggal beli tiket Shinkansen ke Kyoto yang ada di vending machine JR Office.
Vending Machine untuk beli Tiket Shinkansen.
Sebenernya nggak perlu tutorial sih, selama bisa basic English everything's okay!
Tiket Shinkansen Nozomi seharga 13,910 yen/orang.
Arsyad nggak gue beliin, cukup dipangku aja hahaha
Gue kira kalau mau naik Shinkansen semacam kayak naik kereta jarak jauh di Indo, dimana harus melewati proses boarding pass dan scan x-ray. Ternyata hampir sama sih kayak naik KA Tokyo Metro, cuma masukin tiket ke gate-in dan ambil lagi. Bedanya peron Shinkansen ada dilantai terpisah yaitu lantai paling atas.
Kata suami pas dia naik Kereta Cepat di China, pemeriksaannya bener-bener ketat. Tapi entah ya, di Jepang kok malah nggak diperiksa apa-apa. Nunjukin identitas pun nggak. Mungkin warga negara Jepang udah disiplin kali ya jadi nggak ada yang perlu dicurigain.
Kata suami pas dia naik Kereta Cepat di China, pemeriksaannya bener-bener ketat. Tapi entah ya, di Jepang kok malah nggak diperiksa apa-apa. Nunjukin identitas pun nggak. Mungkin warga negara Jepang udah disiplin kali ya jadi nggak ada yang perlu dicurigain.
Tips:
Untuk budget traveler, dari Tokyo ke Kyoto nggak harus pakai Shinkansen karena harga tiket lumayan mahal (sekitar Rp 1,7 juta per orang sekali jalan). Bus malam bisa jadi alternatif yang jauh lebih murah. Tapi ya konsekuensinya makan waktu 8 jam dan bikin pegel! Kalau gue dan keluarga emang pengen naik Shinkansen, masa udah di Jepang nggak naik Shinkansen? Kan nggak tau kapan bisa kesana lagi hehehe.
Sebelum Shinkansen berangkat. Yang fotoin bukan suami tapi turis Asia juga (entah dari negara mana). Pak suami lagi sibuk lipet stroller.
Tepat jam 18.10 sesuai jadwal, Shinkansen Nozomi pun melesat dari Stasiun Tokyo menuju Stasiun Shin-Osaka (tapi kita turun di Kyoto). Perjalanan dari Tokyo ke Kyoto sejauh sekitar 500 km yang ditempuh dalam waktu 2 jam 15 menit.
Baru juga setengah jam, Arsyad udah ribut minta makan. Udah tutup mata aja deh sama harganya yang penting dia kenyang.
Ini dia penampakan bento seharga 1,400 yen
Tepat jam 20.25, Shinkansen pun sampai di Stasiun Kyoto. Nggak telat barang sedetikpun, karena jalur Shinkansen memang dibuat khusus tanpa ada persilangan ataupun penyusulan.
Turun di Stasiun Kyoto disambut udara superdingn sekitar 10 derajat Celcius. Kita buru-buru lanjut naik JR Local karena guesthouse-nya lebih dekat dengan Stasiun Tofukuji. Sebenarnya jarak dari Stasiun Kyoto ke Guesthouse di Tofukuji cuma 2 km, tapi badan udah remuk semua, nggak sanggup jalan jauh apalagi dengan udara sedingin itu.
Akhirnya jam 21.00 kurang 10 menit sampailah di Stasiun Tofukuji. Kita pun langsung lari ke Guesthouse yang berjarak sekitar 200 meteran karena mengejar jam malam mereka.
Sungguh gue jatuh cinta sama Guest-house-nya. Peralatannya superlengkap, ada kulkas, mesin cuci, microwave, 2 bed, 1 kasur diatas tatami, dan dapur dengan kompor dan peralatan masaknya. Untuk harga IDR 1,2 juta per malam sangat worthed!
Karena di Guesthouse ada mesin cuci, gue segera mengeksekusi beberapa baju kotor untuk dicuci, terutama jaket yang selalu dipakai karena gue cuma bawa 2 biji hehehe. Tapi tunggu...
Lagi-lagi, mesin cucinya pakai tulisan kanji! Alemooong...
Ini gimana gue bacanyaaa???
Dengan ilmu ke-sotoy-an dan pengetahuan dikit-dikit soal kanji, berhasil juga gue mengoperasikan mesin cuci itu, muahaha!
Sukses nyuci baju di Jepang ternyata sebahagia itu hahaha
Hari Ketiga, 9 April 2019
Arashiyama Bamboo Forests
Kyoto, Jepang
Tadinya hari pertama mau keliling Kyoto: ke Fushimi Inari Taisha, Gion, Kuil Kiyomizudera dan hari kedua mau ke Arashiyama Bamboo Forests dan lanjut ke Osaka pakai Hankyu pass. Tapi karena suami mau naik Shinkansen lagi ke Osaka, jadilah rencana kita tukar.
Untuk ke Stasiun Hankyu Arashiyama, kita harus naik Hankyu Line dari Stasiun Kawarimachi, dekat Stasiun Gion-shijo. Aksesnya dari Stasiun Tofukuji naik Keihan Line ke Stasiun Gion-shijo pakai tiket one-way fare.
Turun di Stasiun Gion-Shijo, kita disambut pohon sakura yang masih mekar
Baru juga sampai sana, Arsyad udah teriak-teriak minta makan. Somehow anak ini selama di Jepang yang paling cepat laper (Padahal di Indo dia susah makan dan picky eater banget). Emak dan Bapaknya yang bingung nyari makanan halal yang cocok sama seleranya. Duh.
Nengok ke sekeliling dikit, ternyata ada McD. Agak ragu juga sih mau masuk sana karena nggak tau McD sana halal atau nggak. Tapi berhubung nggak ada tanda-tanda restoran lain yang halal juga, kitapun nggak punya pilihan selain masuk ke restoran fastfood itu.
Agak gambling sih pesen makan apa karena nggak ada menu ayam crispy plus nasi kayak McD di Indonesia. Jadi gue pilih chicken burger (yang agak aman) dan suami pilih menu paket breakfast yang isinya pancake with mapple syrup, beef burger (was it really beef or indeed pork?), scrambled egg, potato nugget, dan chicken nugget.
Arsyad cuma makan nugget aja sama pancake mapple syrup.
Itupun dia nggak doyan, kayak kecap rasanya katanya :))
Rasanya ternyata nggak seenak McD Indonesia. Mungkin karena di Jepang nggak pakai penyedap kali ya hehehe. Pancake-nya pun nggak terlalu enak. Sirup mapple-nya terlalu manis.
Semua makanan nggak ada yang bener-bener kita habisin. Ada 1 menu yang belum tersentuh, which was beef (?) burger. Gue agak ragu, soalnya selama di Jepang tiap makanan berbau daging itu mesti terbuat dari pork. Suami awalnya yakin itu bukan pork. Tapi gue keukeuh minta dia nanya ke kasir. Daaan bener saja, itu pork sodara-sodaraaa..
Hiks, tiba-tiba jadi mual karena gue udah makan roti bun dan scrambled egg yang nempel sama pork burger-nya. Bergegaslah kita merapikan makanan dan buang ke tempat sampah yang udah disediakan.
Jangan lupa ya untuk beresin meja setiap habis makan dan sampahnya sesuai kategori sampahnya
Disekitaran McD yang berseberangan dengan Stasiun Kawarimachi, masih banyak banget sakura bermekaran. Sugoiiii~ gue berasa ada di film drama romantis Jepang gitu yang peran utamanya dihujani sakura *apaan siih.
Di Stasiun Kawarimachi niatnya gue mau beli Hankyu Pass untuk ke Stasiun Arashiyama seharga 700 yen/orang di Tourist Information Center-nya. Tapi petugas Tourist Information Center yang Alhamdulillah fasih berbahasa Inggris menyarankan, lebih baik kita beli tiket One-Way-Fare seharga 220 yen sejalan atau 440 yen PP daripada beli Pass toh selain ke Arashiyama kita nggak berniat mampir-mampir lagi kan. Bener juga!
Dear God, thank you for giving me chance to visit this place... and yes, of course, thanks to my hubby :)
Stasiun Kawarimachi
Gion, Kyoto
Di Stasiun Kawarimachi niatnya gue mau beli Hankyu Pass untuk ke Stasiun Arashiyama seharga 700 yen/orang di Tourist Information Center-nya. Tapi petugas Tourist Information Center yang Alhamdulillah fasih berbahasa Inggris menyarankan, lebih baik kita beli tiket One-Way-Fare seharga 220 yen sejalan atau 440 yen PP daripada beli Pass toh selain ke Arashiyama kita nggak berniat mampir-mampir lagi kan. Bener juga!
Tourist Information Centre Kawarimachi Station
Sepanjang jalan dari kereta yang kita lihat semuanya bunga sakura yang masih bermekaran banyak banget. I never saw more beautiful scenery than this one!
Stasiun Hankyu Arashiyama merupakan stasiun pemberhentian terakhir paling barat di Hanku Line. Stasiun ini tergolong Stasiun kecil dan sederhana tapi soal bersih jangan disana. Pemandangan begitu turun dari kereta pun sangat indah, view-nya Gunung dan bunga sakura.
Saking amazed-nya sama pemandangan yang ada disana, kita jadi penumpang terakhir yang meninggalkan peron hehehe.
Stasiun Hankyu Arashiyama ini depannya luas banget.. tanpa ada mobil-mobil parkir disana. Bayangkan kalau di Indonesia udah diisi ratusan mobil begitu disediakan lahan parkir. Jalan sekitar seratus meter, ada mobil yang jualan corn dog, burger, dan sosis. Bisa ditebak kan gimana reaksi si bocah begitu lihat ada bakulan jualan? Ya jelas ngerengek minta!
Habis itu kita lanjut jalan lagi, masih jauh bok!
Kalau memasuki area Fushimi Inari stroller harus ditinggal. Terus dititip dimana dong? Kita sih asal taruh aja karena tau pasti aman. Dan bener dong, begitu selesai melewati ribuan gerbang itu, stroller kita masih utuh tanpa bergeser sedikitpun posisinya hehehe.
Bagi kalian yang suka posting foto keren di Instagram, tempat ini sangat Instagramable lho. Kalau kita sih secukupnya aja buat kenang-kenangan.
Karena semakin sore, dari Stasiun Fushimi Inari kita langsung ke Stasiun Tofukuji untuk ambil koper. Lanjut ke Stasiun Kyoto dengan JR Nara (Local). Sampai Stasiun Kyoto, kita kembali beli tiket Shinkansen seharga 1,420 yen untuk perjalanan selama 30 menit. Kalau kata suami anggap aja kayak naik wahana di amusement park, tapi lebih mahal hahaha.
Stasiun Shin-Osaka
Osaka, Jepang
Sampai Osaka masih gerimis tipis, walau udah jam 18.12 sih. Asyik, nggak perlu buru-buru ngejar jam malam kayak pas di Kyoto.
Istana Osaka merupakan bangunan peninggalan budaya yang dilindungi oleh pemerintah Jepang. Menara utama Istana Osaka yang menjulang tinggi merupakan simbol kota Osaka. Istana Osaka dimanfaatkan sebagai istana sekaligus benteng sejak zaman Azuchi Momoyama hingga zaman Edo. Istana Osaka yang ada sekarang terdiri dari menara utama yang dilindungi oleh dua lapis tembok tinggi yang dikelilingi oleh dua lapis parit, parit bagian dalam (Uchibori) dan parit bagian luar (Sotobori). Air yang digunakan untuk mengaliri parit istana diambil dari Sungai Yodo mengalir di sebelah utara Istana Osaka.
Nggak banyak sih yang kita lakukan disana. Sebenarnya bisa aja kalau mau masuk kastilnya, itu udah tercover di OAP, jadi nggak perlu beli tiket lagi. Tapi gue agak males ya naik-naik, hehehe. Jadi foto didepannya aja cukup deh.
Nggak jauh dari Tempozan Park, ada vending machine Ice Cream. Arsyad langsung minta, padahal udara dinginnya minta ampun.
Gue sih pesimis si tukang juaannya jual makanan halal. Hampir pasti setiap menu ada pork-nya. Dan bener aja saat gue tanya semua mengandung pork.
"Nak, semuanya nggak halal, ada daging babi-nya. Kita nggak boleh makan." gue ngasih penjelasan ke Arsyad.
"Tapi Asad pengen ituuu..." yak, hampir nangis.
Terus gue jelasinlah bla bla bla bahkan sampai bawa-bawa Meimei-nya Upin Ipin supaya dia bisa ngerti. Akhirnya dia ngerti juga. Traveling bareng bocah balita emang lumayan PR sih buat emak bapaknya. Kita harus jaga mood si anak tetep bagus dengan kondisi cuaca yang superdingin atau superpanas.
Perjalanan ke Arashiyama Bamboo Forests lumayan jauh, sekitar 2 km atau 30 menit jalan kaki. Tapi jadi nggak kerasa karena kita disuguhi pemandangan yang luar biasa.
Jalan 5 menitan, eh ada tukang takoyaki. Harganya 500 yen. Mahal sih sebenernya, tapi kapan lagi kan menyantap takoyaki dibawah bunga sakura?
Takoyaki habis disantap in no time, yaiyalah 6 takoyaki buat bertiga, hehehe medit! Yang paling gue suka adalah pemandangan sungai yang kita nikmatin saat makan takoyaki. Kayak di film Samurai X hahaha.
Habis itu kita lanjut jalan lagi, masih jauh bok!
Sekitar dua pertiga perjalanan, ada toko All About Matcha Shop. Sebagai penggemar matcha, jiwa kepo gue bergejolak dan langsung masuk tanpa kompromi dulu sama suami.
Sumpah, isinya unik-unik banget. Semua produk olahan matcha ada disini. Kyoto bener-bener syurganya pecinta matcha! Tapi begitu lihat price tagnya... errr... kok nggak ada yang murah ya. Minimal harganya 400 yen itupun bukan olahan yang menarik. Ampuun, padahal bukan ditengah kota tapi makanan tetep mahal! Sasuga Nihon desu ne...
Ujung-ujungnya gue cuma beli es krim matcha seharga 400 yen hehehe
Kalau di Jakarta atau Bandung, untuk jalan 2 km an udah males banget. Selain karena cuaca yang nggak mendukung, view-nya juga nggak ada yang enak untuk dilihat selain macet dan macet. Di Arashiyama bener-bener enak banget. Maaf ya bukannya gue nggak cinta Indonesia, banyak kok tempat bagus di Indonesia. Tapi ini jujur, di Jepang pedestrian sangat dihormati. Jadi nggak perlu khawatir kalian akan keserempet atau diklakson-klakson.
Ini beberapa moment yang sempat kita abadikan dijalan. Banyak sih, tapi ya cuma asal jepret aja, secara kita nggak pegang SLR cuma kamera hape biasa hehehe.
Arashiyama Bamboo Forests
Arashiyama. Kyoto, Jepang
Akhirnya sampai juga kita di Arashiyama Bamboo Forests yang termahsyur itu. Mirip sih sama digambar-gambar, tapi ruame-nya itu yang nggak nahan. Baru mejeng bentar udah diserudukin.
Tapi jujur sih, sebenernya bagian paling bagusnya itu ya diperjalanan menuju Arashiyama. Begitu sampai hutan bambu-nya ya pemandangannya hanya itu aja. Kita pun nggak lama kok ada disitu karena bagai lautan manusia yang masing-masing sibuk foto. Terus dimana sisi 'enjoying'nya?
"Kita mesti balik lewat jalan yang tadi yang?" tanya gue ke suami. Walau pemandangannya bagus tapi membayangkan harus jalan 2 km lagi rasanya males setengah mati.
Suami lihat peta yang dikasih onee-san di Tourist Information Center.
"Eh ada nih stasiun yang dekat!" kata dia menujuk Stasiun JR Saga Arashiyama. Beda dengan Stasiun kedatangan kita tadi (Hankyu Arashiyama-red).
Gue cek di Google Maps. Memang dekat, tapi hampir sekilo. Tapi lebih baik lewat jalan yang baru kan ketimbang balik lagi ke jalan yang sama?
Ditengah hutan bambu ada kuil, maaf saya lupa namanya
Ini hasil jepretan kita disepanjang jalan menuju Stasiun Saga Arashiyama.
Gue hampir selalu tergila-gila dengan arsitektur bagunan di Jepang. Simple tapi tetap bernilai budaya. Kebanyakan rumah warga di daerah Arashiyama nggak dilengkapi pagar. Tapi tetap aman dong pastinya.
Nemu matcha cafe lagi dong. Tapi kali ini kita nggak masuk :(
Persis disebelah Stasiun Saga Arashiyama ada Museum Piano (19th Century Hall) Tapi patung depannya lokomotif. Nah bingung kan?
Kita nggak berkunjung kedalamnya sih meski penasaran. Kaki udah mau kebas, rasanya udah nggak sanggup jalan lagi huhuhu.
JR Saga Arashiyama adalah stasiun yang dioperasikan oleh JR (Japan Railway) West. Yang melintasi Stasiun tersebut adalah JR Sagano Line yang mengubungkan Osaka dengan Kyoto lewat Kobe. Kita turun di Stasiun Kyoto karena mau ke Kyoto Tower untuk beli Keihan Sightseeing Pass.
Stasiun Kyoto tampak luar
Diseberangnya ada Kyoto Tower
Ke Kyoto Tower ngapain? Mau foto-foto? Absolutely no. Jadi Tourist Information Center yang jual Keihan Pass ada didalam Plaza Kyoto Tower.
Antri dengan tertib dong hehehe
Gue paling suka kalau ke Tourist Information Center. Selain karena petugasnya ramah, mereka yang paling fasih Bahasa Inggrisnya ketimbang tempat lain di Jepang. Malah di Kyoto Tower, saat gue ngasih paspor, petugasnya langsung menyapa ramah,
"From Indonesia?"
"Yeah". jawab gue.
"Selamat sore."
Wow, such an honor! Mungkin mereka sudah terbiasa melayani turis Indonesia kali ya. Setelah memberi penjelasan detail, kita pun membeli Keihan Sightseeing Pass yang berlaku untuk satu hari seharga 600 yen (tentu, Arsyad belum perlu dibeliin).
Setelah sang petugas mengucapkan 'terima kasih' dalam Bahasa Indonesia dan ngasih merchandise berupa gantungan sushi, kita pun pamit.
Kyoto Imperial Palace
Kyoto, Jepang
Kyoto Imperial Palace adalah bekas istana kekaisaran Jepang setelah Restorasi Meiji pada 1869, dan preservasi Istana Kekaisaran Kyoto diperintahkan pada 1877. Saat ini halamannya dibuka untuk umum.
Karena masih sore, kita sempetin mampir kesana sebelum pulang ke Tofukuji. Dari Stasiun Kyoto beli one-way-fare Karasuma Line turun di Stasiun Imadegawa, lanjut jalan kaki sekitar 300 m.
Sayangnya tempat itu ditutup jam 17.00, sedangkan kita baru masuk ke gerbangnya udah jam 16.30. Nggak apa apa deh yang penting udah ngerasain main ke 'mantan' istana kaisar Jepang!
Sampai Guesthouse, kita langsung bebersih dan sholat. Malamnya kita ke Family Mart disebelah Stasiun Tofukuji nyari makan malam. Ternyata cuma nemu udon, sushi, dan grilled shisamo. Udonnya request Arsyad, itupun harus dimasak dulu. Untungnya guesthouse ada dapurnya. Mie cup? Forget about that, udah ngubek-ngubek seisi Family Mart, mie cup-nya mengandung pork semua, hiks :'(
Grilled shisamo, udon, sushi.
Makan malam sederhana kita saat itu tapi udah bikin bahagia :')
Hari Keempat, 10 April 2019
Kyoto Jepang
Pagi itu Kyoto diguyur hujan yang nggak berhenti-berhenti dengan suhu 7 derajat. Padahal agenda kita hari itu cukup padat. Jam 9.45 hujan belum juga reda, padahal kita harus check-out maksimal jam 10.00.
Kalau maksa hujan-hujanan lumayan deras juga lho, kalau sampai baju kita basah dijamin masuk angin (disamping stock baju bersih juga udah sesuai jumlah hari tersisa). Terus gimana ini?
Gue ngelirik dibalik pintu ada payung bening. Gue segera email si pemilik, boleh nggak kita pinjam payungnya dan dititip di Stasiun Tofukuji soalnya udah mepet waktu check out.
Si pemilik reply email gue dalam waktu singkat, dia nggak memperbolehkan kita bawa payungnya karena kejadian sebelumnya payungnya nggak pernah balik. Nah loh, turis dari negara mana tuh!
Dia pun bilang, silakan check out kalau hujan sudah reda. Lebih dari jam 10 pun nggak masalah. Hiks, baiknya. Tapi kalau kita nggak segera check out, kita buang banyak waktu. Gue pun punya ide untuk ke Family Mart dulu beli payung dan jas hujan dengan meminjam payung bening punya si pemilik Guesthouse.
Stasiun Tofukuji
Kyoto, Jepang
Karena hari itu kita akan lanjut ke Osaka, kita ke Stasiun Tofukuji dengan membawa semua koper. Rencananya mau dititip di loker sana.
Loker nya memang nggak secanggih di Stasiun Tokyo. Yang ini pakai kunci manual. Begitu kita masukan koin, kuncinya baru bisa membuka loker.
Hari itu destinasi kita rencananya ke Fushimi Inari Taisha, Gion-shijo, dan Kuil Kiyomizudera, lalu lanjut naik Shinkansen ke Osaka dari Stasiun Kyoto. Begitu sampai Stasiun Fushimi Inari, hujan masih belum reda. Kita paksakan jalan ke Fushimi Inari Taisha. Celana kanvas Arsyad udah basah semua kena hujan. Gue juga menggigil kedinginan. Sheesh, gimana nggak kedinginan? Gue cuma pakai cardigan tipis, sedangkan orang-orang bule aja pada pakai winter jacket. Hiks, gue menyesal udah meremehkan suhu musim semi.
Karena cuaca nggak kondusif, kita pun balik lagi ke stasiun. Sedih sih, masa gue harus melewatkan satu most-wanted place di Jepang? Kapan lagi bisa balik kesana kan?
"Kita jalan-jalan dulu aja naik kereta, nanti kalau udah reda kita kesini lagi." kata suami menenangkan gue. Yaudah deh nurut aja. Kasihan juga si Arsyad tanggannya udah dingin semua, hidung pun udah meler.
Akhirnya kita keliling naik kereta Keihan pakai Keihan Sightseeing Pass. Dari Stasiun Fushimi Inari ke Stasiun paling ujung sebelah utara Keihan Line, yaitu Sanjo, lalu balik lagi ke selatan, kembali melewati Tofukuji dan Fushimi Inari sampai kita ketemu anak TK yang habis pulang sekolah bersama ibunya. Anak cantik itu namanya Karen. Dia nyapa kita duluan,
"Kawai..." katanya sambil senyum-senyum menunjuk kerudung gue yang emang agak unik hehehe.
Gue pun tersenyum. "Arigatou."
Ibunya pun ikut menyapa.
"Nama e wa?" dia nanya Arsyad. Ibunya menerjemahkan. "She asked his name."
"This is Arsyad, and you?" kata gue.
"Karen desu."
"Hello, Karen. Nice to meet you." kata gue.
Ibunya Karen menerjemahkan bahasa Jepang ke Bahasa Inggris agar gue mengerti dan menerjemahkan Bahasa Inggris ke Bahasa Jepang supaya Karen mengerti.
Karen bisik-bisik ke ibunya, dan dia nanya pakai Bahasa Inggris. "Cold isn't?"
"Yeah, really cold." Gue menjawab.
Ibunya Karen bertanya. "Where do you from?"
"Indonesia." gue tersenyum.
"Wow, Indonesia is so hot!" kata Karen.
Gue pun mengernyit heran. "You ever visited Indonesia?"
"Yes, her uncle's living in Bali." kata ibunya.
Sekali lagi, Indonesia terkenal karena Bali hehehe. Setelah percakapan singkat, ibunya Karen tanya kita mau kemana. Gue bilang, kita cuma mau keliling-keliling sambil nunggu hujan reda sekalian menghangatkan badan di kereta yang dilengkapi heater.
Kereta Keihan pun terus berjalan jauh. Wah ini kayaknya udah diluar Kyoto, soalnya pemandangannya berupa pusat industri dan pabrik-pabrik. Kita memutuskan segera turun di stasiun selanjutnya, yaitu Stasiun Yodo.
Setelah berpamitan dengan Karen dan Ibunya, kami pun turun. Si Karen melambaikan tangannya dan bilang, "Bai-bai" ke Arsyad.
Stasiun Yodo ini bukan stasiun subway. Disini lebih dingin daripada di Kyoto. Mana jadwal kereta kearah Fushimi Inari masih 20 menitan lagi. Untungnya disitu disediakan ruangan tunggu yang dilengkapi heater (kalau di Indonesia mungkin dijadikan smoking area).
Gion Shijo
Kyoto, Jepang
Hujan masih rintik-rintik ringan saat kita keluar dari Stasiun Gion Shijo. Tempat ini terkenal karena Geisha-nya. Tapi pas kesana kita cuma nemu satu orang berdandan Geisha, mungkin karena masih gerimis ya takut make up nya luntur, hehehe.
Pas ke Jepang kemaren emang gue lagi gembul-gembulnya hehehe
Gue suka jalanan di Gion ini. Nuansa tradisional Jepangnya masih sangat terasa karena terjaga dengan baik. Saking terkesannya sampai gue males ngeluarin hape untuk foto-foto. Pokonya just wanna enjoy the moment!
Sebenarnya yang dicari pertama ke Gion ini adalah restoran Halal Ramen Naritaya yang terkenal enak dan halal itu. Tapi pas sampai lokasi, restoran masih tutup dan baru buka jam 17.00 (saat itu jam 14.15). Nggak mungkin kan nungguin sampai toko buka sedangkan sore itu kita harus segera ke Osaka.
Perut udah keroncongan, akhirnya gue googling restoran halal lainnya. Lumayan jauh sih tapi daripada nggak ada lagi. Nama restorannya Ganko Sanjo Honten, restoran sushi.
Si Ayah bingung pilih menu
Ini Kids menu-nya
Karena restoran sushi di Jepang hampir selalu mahal, makanya kita pesan menu paket (lagi-lagi hehehe). Kalau Arsyad sih pesan Kids menu (udon dan tempura).
Ini makanan kita
Ternyata suami salah pilih mie. Mie yang dia pilih adalah mie dingin anyep hahaha. Gue sih udah pasti makan pilih raw sushi. Akhirnya suami mengakali mie itu dengan mencampur shoyu dan bubuk cabe, katanya sih jadi better hehehe. Rasa sushi nya gimana? Enak banget! Simple tapi sangat enak, tuna-nya masih fresh dan nggak amis sama sekali. Tempura-nya pun enak.
Ini udon-nya Arsyad. Simple tapi soo delicious!
Kita makan dulu yaa.. si bocah maunya disuapin
Total semua yang kita pesan itu 1,379 yen (atau 170ribuan). Untuk makanan se-simple dan se-sedikit itu sebenarnya mahal, tapi toh ini Jepang. Kalau mau murah beli onigiri aja di Family Mart hehehe.
Fushimi Inari Taisha
Kyoto, Jepang
Setelah hujan lumayan mereda walau masih gerimis kecil, dari Stasiun Gion Shijo kita turun di Stasiun Fushimi Inari (lagi) untuk kembali ke Fushimi Inari Taisha. Alhamdulillah akhirnya kesana juga.
Fushimi Inari Taisha adalah kuil Shinto yang memuja Dewa Inari (Pertanian) dan dipercaya membawa berkah bagi panen palawija, kesukesan dalam perdagangan bisnis, dan keselamatan di bidang transportasi. Untuk menuju kuil tersebut kalian harus memasuki 1000 gerbang yang dicat warna vermillion dengan tulisan-tulisan bercat hitam yang berisi sutera Buddha. Rubah sebagai ikon kuil ini dianggap sebagai penjaganya.
Kalau memasuki area Fushimi Inari stroller harus ditinggal. Terus dititip dimana dong? Kita sih asal taruh aja karena tau pasti aman. Dan bener dong, begitu selesai melewati ribuan gerbang itu, stroller kita masih utuh tanpa bergeser sedikitpun posisinya hehehe.
Bagi kalian yang suka posting foto keren di Instagram, tempat ini sangat Instagramable lho. Kalau kita sih secukupnya aja buat kenang-kenangan.
Karena semakin sore, dari Stasiun Fushimi Inari kita langsung ke Stasiun Tofukuji untuk ambil koper. Lanjut ke Stasiun Kyoto dengan JR Nara (Local). Sampai Stasiun Kyoto, kita kembali beli tiket Shinkansen seharga 1,420 yen untuk perjalanan selama 30 menit. Kalau kata suami anggap aja kayak naik wahana di amusement park, tapi lebih mahal hahaha.
Stasiun Shin-Osaka
Osaka, Jepang
Sampai Osaka masih gerimis tipis, walau udah jam 18.12 sih. Asyik, nggak perlu buru-buru ngejar jam malam kayak pas di Kyoto.
Stasiun Shin-Osaka
Karena hotel kita didaerah Umeda, kita ganti pakai Osaka Metro turun di Stasiun Umeda. Tapi sebelum itu, kita beli Two-Days Osaka Amazing Pass dulu seharga 3,600 yen per orangnya. Kalau mau tau Osaka Amazing Pass (OAP) bisa dipakai buat apa aja, silakan kunjungi site ini.
Kalau bawa anak kecil walaupun dibawah 6 tahun, wajib dibeliin ya si OAP ini karena walaupun nggak harus bayar tiket kereta tapi untuk main diwahana yang dicover OAP wajib punya.
Stasiun Umeda
Osaka, Jepang
Stasiun Umeda adalah stasiun subway yang besarnya luar biasa. Yang bikin bingung adalah pintu keluarnya banyak dan saat salah pintu keluar bisa berakibat fatal. Nah ini yang terjadi sama kita.
Biasanya kita manfaatin Google Maps untuk cari arah. Tapi saat itu hujan dan sinyal GPS ngaco. Kita ngikutin GPS untuk exit utara dan pede aja keluar kearah barat. Tapi begitu sampai sana, reroute lagi. Dan begitu terus menerus. Dengan kondisi bawa 2 koper besar dan 1 stroller berisi Arsyad ditambah lagi guyuran hujan, kita bingung mau kemana lagi. Kita coba nyebrang jalan dan keluar stasiun dengan harapan GPS kembali membaik. Kita jalan sampai kedinginan. Keluar masuk dan naik turun gedung, tapi nggak ada tanda-tanda kita mendekati hotel.
Sampailah kita di Lantai 3 Stasiun Umeda yang berupa Plaza. Well yeah, kita mutar muter tapi ujung-ujungnya balik ke Umeda lagi. Disana beratap langit, jadi kita kehujanan dan kedinginan. Tangan Arsyad udah sedingin es tapi dia tidur. Gue sangat khawatir dan berusaha menggesek-gesek tangan Arsyad supaya hangat (dia nggak mau pakai sarung tangan pas itu).
Hopeless, kita masuk Plaza. Setidaknya disana ada heater. Hangat. Tapi bukan untuk windows shopping, kita mau cari jalan keluar. Untungnya ada Information Center. Dengan keterbatasan bahasa (si customer service nggak terlalu lancar berbahasa Inggris), dia ngasih peta dan mencoba menjelaskan jalan keluar terdekat. Dia memang nggak tau lokasi hotelnya, tapi kalau nama jalannya dia paham.
Gue masih kurang paham sama penjelasannya, tapi coba untuk mengikuti arahannya. Sampailah kita pada suatu tempat (kayaknya basement, masih di Stasiun Umeda) dan kita masih nggak yakin itu arah yang benar. Gue hopeless, hampir putus asa. Berdoa berharap pertolongan Allah datang. Kalau nggak bawa anak kecil mungkin nggak akan se-worry ini. Tapi kita bawa anak 4,5 tahun, masih balita walaupun udah besar.
Suami pun mencoba mempelajari lagi peta yang dikasih mbak-mbak CS itu. Sampai akhirnya...
"Any problem?" tiba-tiba ada seorang pria Jepang (sepertinya business man) menghampiri kita. Tadinya suami udah mau jawab, "No, thanks."
Tapi gue sela. "Yeah, we don't know how to get to this place.." gue menunjuk jalan menuju hotel pada peta. "We're getting lost."
Dia meminta peta dari gue dengan sopan dan berpikir. Sesaat kemudian, "Hmm.. I see. Follow me."
What? Dia mau anter kita? Tanpa buang waktu dan pertanyaan tambahan kita segera mengikuti Japanese man itu. Gue yakin dia orang baik dan nggak akan menyesatkan kita. Dia jalan setengah ngebut (typical orang Jepang), gue minta suami jangan sampai kehilangan jejaknya sementara gue nyusul dibelakang sambil dorong Arsyad.
Mbak-mbak CS memang sudah mengarahkan ke jalan yang benar, tapi kita memang kurang paham. Buktinya si Japanese juga lewat situ. Setelah jalan sekitar 10 menit, sampailah kita di pintu keluar Stasiun Umeda sisi yang lain.
"From here, you cross the road, and turn right. Then walk about 50 meters and turn left. You can use this map as guidance." kata Japanese man itu memberi kita arahan yang sangat jelas. "Ja, I'm going now. Be safe!"
Gue masih terkesan dengan kebaikannya. "Thank you, mister. Thank you very much. Doumo Arigatou Gozaimasu." gue membungkukan badan.
"You're welcome."
Si Japanese man yang baik itu menghilang dari pandangan dalam sekejap. Gue hampir menangis terharu. Baiknya pria itu. Padahal dia kelihatan buru-buru tapi dia nggak segan menolong. Ya Allah.. terima kasih, Kau kabulkan doa kami melalui pria itu..
Itu memang pintu keluar yang benar. Kita mengikuti jalan sesuai peta. Untungnya Google Maps pun udah bisa karena hujan mereda. Sekitar 700 meter jalan kaki, akhirnya kita ketemu hotel yang kita inapi.
Hari Kelima, 11 April 2019
Osaka, Jepang
Hotel Hokke Club Osaka ternyata lebih dekat dengan Stasiun Higashi Umeda (cuma satu stasiun setelah Stasiun Umeda). Cukup jalan 300 meter, udah sampai ke pintu masuknya. Tau gitu kan kemarin nggak perlu pakai drama nyasar! Tapi nggak apa-apa sih, kalau nggak gitu kan nggak ngerasain nyasar di Jepang, hehehe!
Hari pertama kalau sesuai itinerary kita akan ke Kastil Osaka (Osaka Castle), Umeda Sky Building, dan Tempozan Park (didalamnya ada Aquarium Kaiyuukan, Tempozan Ferris Wheel, dan Tempozan Market). Hari kedua memang khusus untuk cari oleh-oleh.
Osaka Castle
Tokyo, Jepang
Akses ke Kastil Osaka nggak susah, cukup naik Osaka Metro Tanimachi Line (ungu) dan turun di Stasiun Tanimachi 4-chome. Dari Stasiun jalan kaki sekitar 1 km untuk sampai ke gerbang depan Kastil Osaka. Jalan terus yak? Hahaha. Makanya selama disana berat badan sempet turun 2 kg, sedikit makan tapi banyak jalan.
Perjuangan belum selesai dari gerbang depan. Kita masih harus jalan lagi ke kastilnya. Karena hati senang banyak jalan pun nggak kerasa lho.
Sungai yang mengelilingi Kastil
Ciluuuk baa..
Gerbang Kastil Osaka
Nggak banyak sih yang kita lakukan disana. Sebenarnya bisa aja kalau mau masuk kastilnya, itu udah tercover di OAP, jadi nggak perlu beli tiket lagi. Tapi gue agak males ya naik-naik, hehehe. Jadi foto didepannya aja cukup deh.
Osaka Castle yang sering gue lihat di Manga Conan
Begitu keluar dari gerbang tadi, Arsyad minta naik semacam omprengan. Harga tiketnya 500 yen buat dewasa dan 300 yen buat anak-anak. Omprengan ini akan nganterin kita dari Gerbang Kastil Osaka ke Stasiun Tanimachi 4-chome (katanya begitu).
Ternyata kita nggak diturunin di tepat didepan Stasiun Tanimachi 4-chome. Masih harus jalan lagi 500 meteran.
Kita nggak kembali ke jalan yang tadi, tapi lurus dan melewati gedung-gedung perkantoran, masuk lewat pintu stasiun yang lain. Terus mau lanjut kemana kita? Karena waktu udah menunjukan jam 11.15, kita memutuskan cari makan siang.
Nah ini yang lumayan PR. Kebayang susahnya cari makanan halal disana. Hasil googlingan menujukan ada restoran ala Pakistan halal di dekat Stasiun Shinsaibashi, yaitu Ali's Kitchen (ada sertifikat halalnya juga lho dan masuk Trip Advisor). Tanpa pikir panjang kita langsung kesana. Aksesnya dari Stasiun Tanimachi 4-chome naik Chuo Line (hijau) transit di Stasiun Hommachi dan transfer ke Midosuji Line turun di Stasiun Shinsaibashi.
Karena nggak sempat foto tampak luar, jadi courtesy Google Streetview aja ya
Jangan bayangkan Ali's Kitchen adalah restoran yang besar dan tampak dari luar. Salah besar. Malah lokasinya ada di basement (entah basement ke berapa lupa). Tempatnya pun kecil dan sempit, tapi ada sertifikat halal dan rekomendasi Trip Advisor.
Seperti biasa, kita pesan menu paket karena masakan Arab itu terkenal cukup pricey, apalagi di Jepang.
Gue nggak inget sih isinya apa aja, yang jelas ada nasi briyani, lasi, roti canai, dan entah namanya apa (maklum bukan penggemar masakan arab). Arsyad cuma makan rotinya aja dan itu juga dia nggak terlalu suka. So far rasanya enak sih, as expected from Arabian food. Tapi yang paling gue suka adalah lasi. Minuman yang terbuat dari yoghurt dan milkshake. Segerrrr...
Makan siang kali itu habis sekitar 1,700 yen (hanya 1 porsi lho).
Tempozan Park
Kyoto, Jepang
Naik salah satu bianglala terbesar didunia yaitu Tempozan Ferris Wheel adalah salah satu bucket list gue. Tempozan Ferris Wheel yang bisa dicover OAP adanya di Tempozan Park. Dari Stasiun Shinsaibashi naik Osaka Metro Midosuji Line turun di Stasiun Hommachi dan transfer lagi ke Chuo Line dan turun di Stasiun Osakako.
Tempozan Park ini letaknya dekat Teluk Osaka. Jadi view dari bianglala adalah laut. Jalan cuma 200 meter dari Stasiun Osakako, langsung kelihatan Tempozan Ferris Wheel yang sangat tinggi itu!
Tempozan Ferris Wheel dibuka untuk umum mulai 12 Juli 1997 (wah pas ulang taun gue yang ke 9 tahun dong, hehehe). Tingginya mencapai 112,5 meter dan diameternya 100 meter. Perlu waktu 17 menit untuk mencapai satu putaran. Wuihh, nggak sabar naik ke bianglala itu! Sebelumnya bianglala terbesar yang pernah gue naikin ya yang di Dufan hehehe.
Tapi begitu tau emak dan bapaknya mau naik bianglala besar, Arsyad langsung menolak! Ah nggak asyik deh... masa udah jauh-jauh sampai sana nggak naik bianglalanya sih, huhuhu.
Disamping bianglala, ada patung jerapah yang terbuat dari lego. Disitu tulisannya, "Legoland Discovery Center." Langsung deh gue tawarin si bocah yang disambut dengan jawaban super excited.
"Mau mau mau... mau ke Legoland!"
Ini sebenernya trik sih, bikin mood Arsyad bagus dulu baru dibujuk naik ferris wheel hehehe.
Legoland Discovery Center ada didalam Tempozan Market. Harga tiket masuknya sekitar 2000 yen. Tapi untungnya dicover sama OAP jadi gratis!
Pintu depan Tempozan Market
Arsyad happy banget main disana. Iyalah, semuanya serba lego Sampai-sampai nggak mau pulang. Dibujuk nggak mau. Ayahnya udah ngomel aja suruh gendong paksa anaknya supaya destinasi wisata yang lain bisa kekejar. Tapi Arsyad dipaksa, dia bisa ngamuk seharian. Yang ada bukannya senang-senang malah sibuk bikin dia diem.
Udah ditunggu lumayan lama, tetap nggak mau pulang. Senjata pamungkas, kita bilang diluar Legoland ada yang jual mainan. Dia pun langsung nurut tanpa nangis. Sebenernya gue cuma asal ngomong, kalau nggak ada yang jual mainan gimana? Bisa bisa dia ngamuk lagi? Tapi kan biasanya kalau game center begini suka ada tuh jual merchandise-nya, mungkin aja disana juga.
Dan... Alhamdulillah, begitu exit langsung toko mainan. Jual all about Lego (baca: merk asli LEGO, bukan KW KW). Harga yang tertera pun cukup bikin nelen ludah. Bahkan ada yang sampai ratusan ribu yen. Astagfirullah... ini pegimana yak?
Gue cari yang agak murah di rak-rak lain. Untungnya dapet. Pas, lego kereta sesuai kesukaan dia, harganya 2,400 yen (atau sekitar 300 ribu). Alemong... mahal amat yak untuk ukuran kecil. Tapi daripada yang lain.
Eh beruntung, pas bayar di kasir kita dapat diskon karena punya OAP. Wih, diskon 30%, jadi harganya 1,680 yen! Lumayan banget kan.
Keluar dari Legoland, kita sedikit tipu tipu Arsyad, sengaja lewat jalan yang nembusnya langsung tangga menuju Ferris Wheel. Hahaha.
Tempozan Ferris Wheel ini ukurannya besar dan kokoh. Bahkan stroller boleh ikut masuk. Ada dua jenis cabin, transparan atau biasa. Banyak turis yang antri mau naik yang transparan supaya adrenalinnya lebih terpacu. Gue malah nggak berani, Takut tiba-tiba diatas kena Achrophobia.
Habis naik Tempozan Ferris Wheel, rencananya lanjut mau masuk ke Aquarium Kaiyuukan. Tapi ternyata OAP nggak bisa dipakai gratis disini. Cuma dapat diskon sedikit aja. Nggak jadi deh kita masuk (backpacker kere, hahaha). Tiket masuknya lumayan, 2,550 yen untuk dewasa dan 1,300 yen untuk anak-anak. Total harus keluar uang 6,400 yen atau sekitar 800ribuan. Tapi pada akhirnya nyesel sih nggak masuk hehehe... karena aquarium itu yang terbesar didunia.
Tampak depan Aquarium Kaiyuukan
Bye bye Tempozan Park, wish we could back again someday!
Nggak jauh dari Tempozan Park, ada vending machine Ice Cream. Arsyad langsung minta, padahal udara dinginnya minta ampun.
Jam menunjukan pukul 16.40. Tadinya mau ke Okawa River Sakura Cruise atau Tombori Sakura Cruise yang dicover OAP. Tapi udah kesorean. Jadi dari Tempozan kita langsung cari makan malam. Aha! Di Osaka ada Halal Ramen Naritaya! Lokasinya nggak jauh dari Stasiun Shinsaibashi. Ternyata banyak halal food ya di Shinsaibashi ini.
Halal Ramen Naritaya berupa kedai makan kecil tapi dilengkapi dengan toilet dan musholla. Ini udah sangat jelas halal karena dipintunya ditempel "HALAL" dari Japan Islamic Trust. Begitu masuk kita langsung disambut ramah oleh pelayannya. Salah satunya malah ada yang berkedurung (ternyata dia mahasiswi Indonesia yang magang kerja jadi waiter disana). Menunya ya seputaran ramen dan beberapa dessert. Uniknya, untuk 1 menu ada 3 pilihan berdasarkan mangkuknya: M, L, dan XL.
Nah ada logo HALAL nya dari Japan Islamic Trust
Ini menu utama
Ini side menunya
Kita pesan apa? Gue pesan Special Naritaya Ramen ukuran L dan suami pesan Spicy Miso Ramen ukuran L.
Ternyata rasanya enaaakkk banget banget banget. Ramen terenak yang pernah gue makan seumur hidup. Terutama yang gue pilih, Special Naritaya Ramen. Bahkan sampai sekarang nggak pernah lupa rasanya dan pengen lagi :(
Bahkan saking enaknya, besok malamnya kita balik kesini lagi hehehe.
Hari Keenam, 12 April 2020
Osaka, Jepang
Hari terakhir di Jepang. Huhuhu nggak kerasa ya udah 6 hari kita jalan-jalan di Jepang dengan segala suka dukanya yang bikin semua menjadi sangat sangat berkesan. Hari itu memang untuk cari oleh-oleh, tapi karena belum sempat naik cruise, jadi kita agendakan juga.
Okawa River Sakura Cruise adanya di dekat Stasiun Temmabashi. Tapi sebelum kesana dari hotel kita mampir ke Namba dulu, cari tumbler Starbuck titipan teman kantor. Aksesnya dari Stasiun Higashi Umeda naik Osaka Metro Tanimachi Line (ungu) turun di Stasiun Tanimachi 9-chome dan transfer ke Sennichimae Line (pink) turun di Stasiun Namba.
Ini penampakan tumbler nya
Setelah dapat tumbler yang harganya 4,000 yen itu (silakan hitung sendiri rupiahnya), kita langsung ke Stasiun Temmabashi, naik Sennichimae Line turun di Stasiun Tanimachi 9-chome lalu transfer ke Tanimachi Line menuju Stasiun Temmabashi (sebenarnya kalau nggak ke Namba dulu, dari hotel bisa langsung naik Tanimachi Line tanpa transfer).
Begitu keluar dari basement Stasiun Temmabashi, ada poster tulisan 'SAKURA MINT FESTIVAL' terus banyak orang yang mengantri didepannya. Kita bingung, ini antrian untuk ke Okawa River atau ke Sakura Mint Festival? Karena takut salah kita pun ikut antri.
Setelah antri beberapa saat, ternyata itu adalah antrian ke Sakura Mint Festival. Luar biasa ya orang-orang Jepang.. mereka antri dengan tertib jadi nggak berdesak-desakan untuk masuk ke festivalnya. Tadinya kita mau langsung belok ke dermaga Okawa Cruise, tapi lagi-lagi karena takut salah, kita ikutan aja deh ke festival itu. Mumpung disana kan yang ada dinikmati dong.
Sakura Mint Festival itu kalau di Indonesia semacam bazar yang jual berbagai macam makanan dan souvenir. Yang bikin beda adalah banyak banget pohon sakura yang mekar. What a beautiful scenery...
Kita nggak beli apa-apa sih di Festival itu, takut zonk juga kan sama streetfood-nya. Setelah santai sambil menikmati Pringles dipinggiran Sungai Okawa, kita langsung ke dermaga Hachikenyahama untuk naik cruise.
Okawa River Sakura Cruise ini adalah salah satu yang nggak boleh dilewatkan, apalagi kalau lagi musim sakura. Jadi kita akan naik ke perahu (cruise) dan dibawa berlayar lewat Sungai Okawa selama 25 menit melewati pohon-pohon sakura yang berwarna pink muda itu.
Harga tiketnya untuk dewasa 1,200 yen per orang sedangkan untuk anak-anak 600 yen per orang dengan jam operasional mulai jam 10.00 sampai jam 19.00. Lagi-lagi, karena kita punya Osaka Amazing Pass, jadi gratis tiss.
Pemandangannya bener-bener kece lho!
Selama di cruise, eh si Arsyad dapet temen baru, anak dari Tionghoa. Mereka asyik ngobrol dengan bahasa masing-masing hahaha.
Dotonburi Street
Osaka, Jepang
Dotonburi ini terkenal sebagai tempat untuk cari oleh-oleh (katanya sih begitu). Kita kesana sekalian mau naik Tombori River Street. Tapi pas sampai sana nggak sesuai ekspektasi. Sungainya kecil dan view-nya pun nggak sebagus Okawa Cruise. Mereka pakai kapal-kapal kecil ala sungai di Venice gitu.
Arsyad tiba-tiba rewel minta balik ke Legoland. Lha nggak mungkin lah kita kesana, jauuh. Terus agenda kita hari itu kan emang untuk cari oleh-oleh. Akhirnya kita bujuk lah si bocah dengan menawarkan dia es krim di kedai pinggiran Tombori River.
As expected from Japan, harga es krimnya nggak ada yang murah. Akhirnya kita pilih yang harganya agak bersahabat dan isinya agak banyak. Nggak sempet foto sih, tapi harga untuk satu es krim 680 yen, huhuhu mahal banget.
Setelah mood-nya membaik, kita lanjut cari Daiso untuk beli oleh-oleh. Tapi nggak nemu. Sekalinya ada, tokonya cuma sebesar Indomaret dan nggak ada harga 100 yen. Lanjut jalan lagi, dan nemu toko oleh-oleh yang super ramai. Tapi harganya mahal banget dan kita nggak leluasa milih. Harga tempelan kulkas aja 600 yen. Buyet kan!
Setelah jalan lumayan jauh, akhirnya kita balik lagi ke Dotonburi (seberang jalan). Disana nggak sengaja nemu counter cheesecake Uncle Rikuro. Menurut rekomendasi Vicky, temen kantor yang nitip tumbler Starbuck dimana dia pernah ke Jepang pada Tahun 2017, cheesecake Uncle Rikuro itu enak banget dan nggak bikin eneg. Oke baiklah, berhubung udah sampai lokasi gue langsung ikut antri. Harga cheesecake originalnya kalau nggak salah 870 yen (sekitaran segitu, udah lupa).
Bener aja dong ternyata cheesecake-nya enak banget. Sangat sangat fluffy dan nggak bikin eneg kayak cheesecake pada umumnya. Nyesel cuma beli satu karena langsung habis begitu sampai Jakarta. Sampai sekarang belum nemu cheesecake kayak Uncle Rikuro ini di Indonesia.
Nggak jauh dari counter Uncle Rikuro (cuma 50 meter), kita ketemu Daiso yang menjual barang serba 100 yen. Nah ini yang kita cari. Ayo belanjaaaaa...
Hari Ketujuh, 13 April 2019
Osaka, Jepang
Hari ini kita harus pulang ke Indonesia. Liburan berakhir deh, huhuhu. Karena kita sempat pindah penginapan ke Tennoji (sebelumnya di Higashi Umeda), jadi kita ke Bandara Kansai naik Osaka Metro Midosuji Line turun di Stasiun Dobutsuen Mae dan ganti Sakaisuji Line turun di Stasiun Tengachaya. Dari stasiun ini kita naik Nankai Main Line menuju Kansai International Airport.
Sebelum masuk boarding gate, untuk ngabisin uang yen receh, kita belanja di Duty Free bandara (setelah imigrasi). Gue ambil cokelat matcha dan Tokyo Banana. In the end, nyesel sih beli Tokyo Banana cuma satu karena enak bangeeettt.
Time to say goodbye to Japan. Yeah, after 6 days full of memorable experiences, we must go home.
Inilah negara pertama diluar Indonesia yang sangat bikin gue terkesan. Dari budayanya, keramahannya, sopan santunnya, dan makanannya. Cuacanya juga. Banyak pelajaran yang gue ambil. Bagaimana orang Jepang membudayakan antri, menjaga kebersihan disetiap tempat, tidak membuang-buang waktu, ramah ke turis, dan lain-lain. Hopefully I could go back to Japan again someday, aamiin.
Denpasar, Bali
Indonesia
Pesawat Garuda yang membawa kita pulang ke Indonesia akhirnya sampai di Denpasar. Kita transit selama 5 jam disana. Ngapain ya enaknya? Ngelirik jam, udah jam 17.30. Kayaknya keburu nih kalau mau kejar sunset di Kuta. Tapi naik apa ya? Grab kan dilarang ambil penumpang ke Bandara.
Setelah solat, kita keluar area International Arrival. Langsung ada yang nyamperin nawarin angkutan ke Kuta. Katanya sih tarifnya boleh disamain kayak Grab Car. Gue oke oke aja sih dan langsung naik. Basically Bandara Ngurah Rai itu dekat dari Kuta, tapi entah kenapa argo di Grab bisa 100ribu lebih.
Sayangnya saat itu lagi mendung jadi sunset nggak kelihatan. But anyway, so happy to be back to Bali again after 2 years!
Ngapain aja di Kuta? Lihat pantai dan makan di McD menikmati kembali masakan Indonesia yang kita rindukan. Gue bahkan pesan menu nasi uduknya. Setelah selesai, kita pesan Grab dan kembali ke Bandara Ngurah Rai.
Pesawat Garuda Indonesia dari Denpasar ke Jakarta delay 1 jam, padahal saat itu badan udah pegel banget pengen rebahan di kasur. Alhamdulillah sekitar jam setengah 12 malam kita sampai rumah di Jakarta.
That's our journey to Japan last year. Sampai sekarang masih belum bisa move on sama negaranya dan pengen balik kesana lagi (nabung woi nabung!).
So, where to go next, dear hubby? :)
No comments:
Post a Comment